Selasa, 29 Juni 2010

Pelajaran dari Wonogiri

Oleh Haryono Suyono
Ketika masih menjadi Ketua DPR, Agung Laksono pernah berkunjung ke Wonogiri. Kedatangannya di Wonogiri disambut dengan suguhan kesenian daerah berupa reog ponorogo. Konon, jabatan ketua peguyuban reog tersebut ketika itu dipercayakan kepada Bupati Wonogiri H Begug Purnomosidi.
Minggu lalu, Agung Laksono kembali berkunjung ke Wonogiri. Namun, kali ini bukan sebagai Ketua DPR, melainkan sebagai Menko Kesra. Ia pun kembali disuguhi kesenian reog. Kali ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri juga menggelar pameran produk-produk koperasi primer yang jumlahnya mencapai hampir 7.000 kelompok. Kope-rasi-koperasi itu secara hukum telah ada di setiap RT di wilayah Wonogiri.
Produk-produk yang menarik itu digarap oleh sumber daya manusia dari Wonogiri yang terkenal kreatif. Orang-orang yang ulet itu kini telah menyebar di kota-kota besar seperti Jakarta dan kota lainnya di Indonesia. Mereka juga menjadi tenaga kerja yang bermutu di mancanegara.
Penduduk Wonogiri konon hanya boleh bekerja di luar negeri kalau mengantongi sertifikat pelatihan keterampilan yang dikeluarkan oleh dinas atau instansi yang berwenang. Karena itu. Bupati Begug Purnomosidi dengan penuh kebanggaan menyebutkan bahwa TKI dari Wonogiri, pada umumnya mendapat perlakuan yang baik, karena datang
dengan keahlian yang dibutuhkan oleh pasar nasional dan internasional.
Pencapaian Bupati Begug bukan seluruhnya barang baru. Bu-pati-bupati pendahulunya memang pantas diteladani dan diteruskan upayanya menyejahterakan masyarakat Sepuluh sampai lima belas tahun lalu, pada waktu tenaga kerja Wonogiri makin marak dan bekerja sebagai pengusaha jamu atau usaha lainnya di Jakarta, penduduk Wonogiri bersedia berkenalan dengan sistem pulang bersama.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bekerja sama dengan BRI mengeluarkan cek perjalanan yang dijual di stasiun kereta api atau bus kepada penduduk yang pulang kampung. Cek perjalanan tersebut, dengan kerja sama pemerintah setempat, bisa diuangkan pada bank, atau langsung dibelanjakan pada toko-toko yang ikut serta dalam program ini. Pada waktu itu penggunaan kartu kredit belum marak seperti sekarang, tetapi penduduk Wonogiri telah berani melakukan langkah-langkah modem dalam mengamankan keuangan mereka melalui sistem giral.
Praktik itu sekarang bertambah maju dengan penggunaan bank untuk mengirim remitan dari luar negeri atau penggunaan kartu kredit bagi penduduk yang mempunyai tabungan. Karena kegiatan warga yang tinggi, maka desa-desa di Wonogiri disulap berwajah kota dengan rumah dan perabotan modern yang tidak kalah dibanding rumah penduduk kota.
Seperti juga ciri penduduk modern, penduduk Wonogiri mempunyai mobilitas yang sangat tinggi. Setiap hari puluhan bahkan ratusan mobil dan bus berangkat dari dan datang ke Wonogiri. Bus-bus itu membawa orang atau anggota keluarga Wonogiri dan dagangan yang sudah diolah di Wonogiri. Kota Wonogiri yang sederhana pada masa lalu, sekarang berubah seakan menjadi kota metropolitan dengan satu pengecualian
yang membesarkan hati rakyat Di Wonogiri tidak ada mal-mal besar karena Pemkab Wonogiri tidak ingin rakyat yang bekerja keras dan berdagang dengan cara tradisional yang akrab kehilangan budaya kebersamaan, budaya tawar-menawar, dan budaya saling membantu. Wonogiri bertahan dairi godaan global berupa pasar modem ma) yang tidak mengetengahkan hubungan antarmanusia dari si penjual dan si pembeli.
Selain reog juga ditampilkan tarian bedoyo sakral yang ditari-kan hanya oleh anak-anak gadis yang masih suci, yang lembut memesona. Masyarakat Wonogiri bisa perkasa seperti macan, tetapi juga bisa lembut penuh senyum, gemulai, bersuara merdu dam sejuk.
Dari kombinasi budaya masyarakat yang ditunjukkan hari itu bisa dibaca tuntunan yang tersirat, yaitu adanya kesanggupan untuk bergerak dengan semangat pembangunan yang dinamis, dilandasi kebersamaan untuk maju, dan berani menghadapi tantangan.
Kekuatan rangkap tersebut terlihat dari program industri pertanian, jamu, peternakan, dan kerajinan. Bupati pun memberi kesempatan kepada setiap warga masyarakatnya untuk sejauh mungkin mengembangkan dinamika melalui usaha yang prosesnya dilakukan di Wonogiri.
Kalau pada masa lalu, misalnya, sapi dikirim beratus-ratus ke Jakarta dan kota besar lainnya, maka pembuatan makanan dari daging sapi sekarang dikerjakan di Wonogiri. Bakso untuk masyarakat kota, misalnya, tidak lagi diolah di Jakarta, Semarang, atau Surabaya, tetapi diolah dan dikirim hampir siap saji dari kampung yang bersih dan rakyatnya mahir menghasilkan makanan lezat tersebut
Kemampuan olah-mengolah, kebersihan, dan kesehatan itu dibuktikan dengan kenyataan bahwa Wonogiri masih termasuk penghasil jamu tradisional yang sangat terkenal. Pabrik jamu Air Mancur yang sangat besar tetap bertahan di Wonogiri. Di luar pabrik tidak sedikit orang Wonogiri dan Sukahaijo yang berdekatan dengan Wonogiri menghasilkan jamu tradisional yang masih banyak digemari rakyat di seluruh Indonesia, bahkan sampai mancanegara.
Masyarakat Wonogiri pun sangat terkenal usahanya memelihara budaya peninggalan nenek moyang. Kesenian wayang kulit dikembangkan dengan sangat intens, sehingga di kabupaten banyak kita dapati sertifikat juara Muri yang dihasilkan kesenian dan kelanggengan budaya bangsa tersebut. Melihat pencapaian itu, kita pantas belajar dari Wonogiri.*"
Prof Dr Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar